LAFAS
DARI SEGI SIGHAT TAKLIF
A. Latar belakang Masalah
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah
al-Qur’an dan sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang
berbahasa Arab tersebut para ulama telah
menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam
berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa
kategori lafal atau redaksi, di antara yang sangat penting dan akan dikemukakan
disini. Antara lain tentang Amar, nahi.
B. Lafas dari segi Sighat Taklif
Telah ditetapkan bahwa hukum syar’i
itu adalah Kitab (titah) Allah, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Kitab dalam bentuk tuntutan ada
dua bentuk yaitu tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut
perintah (amar) dan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk
ditinggalkan yang disebut dengan larangan (nahi).
1. Amar
Amar dapat
dilihat dari beberapa segi, antara yang satu dengan lainnya saling berkaitan, Hakikatnya,
definisinya, ucapan yang digunakan, penunjukkannya.[1]
a.
Hakikat Amar
Kata amar banyak terdapat
dalam al-Qur’an. Ada yang mengandung arti “ucapan” atau “perkataan”. Contohnya
firman Allah dalam surat Thaha ayat 132
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat”(Qs.
Thaha :132)
Ada juga kata amar yang tidak
mengandung arti ucapan; diantaranya seperti untuk “sesuatu” atau “urusan” atau
“perbuatan”. Beberapa arti amar dapat dilihat dalam contoh-contoh ayat
di bawah ini;
1. Surat Al-Syura:
38
öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/
“urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”(Qs.
Al-Syura:38)
Amar dalam ayat ini mengandung arti “urusan”
2. Surat Ali
Imran: 159
öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$#
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam segala
sesuatu”(Qs. Ali-Imron : 159)
Amar dalam ayat ini mengandung arti “sesuatu”.
3. Surat
al-Thalaq: 9
ôMs%#xsù tA$t/ur $ydÍöDr& tb%x.ur èpt7É)»tã $ydÍöDr& #·ô£äz ÇÒÈ
“Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan
adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.”(Qs.Al-Thalaq : 9)[2]
Amar dalam ayat ini mengandung arti “perbuatan”
Karena
adanya beberapa arti dari pemakayan kata Amar,
maka menjadi perbincangan dari kalangan ulama tentang untuk apa sebenarnya
(Hakikinya) digunakan kata Amar itu.
b. Definisi Amar
Dalam setiap kata amar
mengandung tiga urusan, yaitu:
Yang
mengucapkan kata amar atau yang disuruh
Yang
dikenai kata amar atau yang disuruh
Ucapan
yang digunakan dalam suruhan itu
Perbincangan mengenai hal definisi amar
ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul dalam merumuskannya:
Diantara
ulama, termasuk ulama mu’tazilah mensyaratkan bahwa kedudukan pihak yang menyuruh
harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan yang menyuruh lebih
rendah dari yang disuruh, maka tidak dapat disebut amar, tetapi disebut
“doa”, seperti disebutkan dalam al-Qur’an Surat Nuh: 28
Éb>§ öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur
”Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku,”(Qs.Nuh :28)
Sebagian
besar ulama, termasuk Qodhi Abu Bakar dan Imam Haramain mendefinisikan amar
sebagai berikut:
“Suatu ucapan yang menuntut
kepatuhan dari yang menyuruh untuk mengerjakan suatu perkataan yang disuruhnya.”
c. Sighat Amar
Dikatakan ulama ushul diperbincangan
tentang apakah dalam menggambarkan amar (menuntut orang mengerjakan
sesuatu) ada ucapan yang dikhususkan untuk itu, sehingga dengan ucapan itu akan
diketahui bahwa maksudnya adalah perintah untuk berbuat. Atau untuk amar
itu tidak ada kata khusus, tetapi untuk mengerjakan sebagai suruhan tergantung
kepada kehendak orang yang menggunakan kata amar itu.
Dalam hal ini terdapat perbedaana
dikalangan ulama :
1. Banyak
ulama ushul fiqh berpendapat bahwa untuk tujuan menyuruh (amar) itu ada
ucapan tertentu dalam penggunaan bahasa, sehingga tanpa ada qarinah apapun kita
dapat mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah.
2. Abu
al-Hasan (dari kalangan ulama mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu
tidak dinamakan amar dengan semata melihat kepada lafadnya, tetapi dapat
disebut amar, karena ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk
melakukan perbuatan itu.
3. Abul
Hasan dari kalangan ulama al-Asy’ariah ia berpendapat bahwa amar itu
tidak mempunyai sighat tertentu.
d.
Amar dari Segi Dilalah (penunjukan) dan Tuntutannya
Setiap lafadz amar menunjuk
kepada dan menuntut suatu maksud tertentu. Maksud tersebut dapat diketahui dari
sighat lafadz itu sendiri. Berikut adalah diantara bentuk tuntutan dari kata amar:
- Untuk hukum wajib, artinya lafadz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafadz itu. Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa: 77;
ó(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¢9$#
“Dirikanlah sembahyang dan
tunaikanlah zakat!,”(Qs Annisa : 77)
Amar di dalam
ayat ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qarinah yang mengarahkannya
untuk itu.
- Untuk hukum nadb atau sunnat, artinya hukum yang timbul dari amar itu adalah nadb, bukan untuk wajib. Contohnya dalam surat al-Nur: 33
öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkÏù #Zöyz (
“Hendaklah
kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada
mereka,”(Qs. Al-Nuur : 33)
Lafadz kitabah, yaitu kemerdekaan
dengan pembayaran cicilan yang disuruh dalam ayat tersebut, menimbulkan hukum
nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu, maka tidak ada ancamannya
apa-apa.
1. Nahi
a. Definisi Nahi
Pembicaraan ulama dalam pembahasan
tentang “amar” yang menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan
kedudukan yang memberikannya, berlaku pula dalam pembicaraan tentang “nahi”
(larangan). Apabila dalam nash
syara’ terdapat lafazd khos dalam bentuk larangan, atau bentuk berita yang
mengandung pengertian larangan, maka lafadz itu memberi pengertian haram,
artinya tuntutan menahan sesuatu yang dilarang dengan pasti. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat al Baqarah: 221
..Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. …
Dari ayat tersebut, kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa haram seorang lelaki muslim mengawini wanita musyrik
sampai ia beriman.
Jadi, definisi Nahi adalah:
“Tuntutan untuk
meninggalkan secara pasti, tidak menggunakan ‘Tinggalkanlah’, atau yang
sejenisnya.”
b.
Penunjukan
atau tuntutan nabi
Nahi itu menuntuk untuk
meninggalakan suatu perbuatan dengan kata yang di dahuluui oleh kata larangan,
yaitu : latap’al atau sewazan (yang setimbang dengan kata itu).
Dalam Al-Quran Nahi yang menggunakan
kata larangan itu mengandung beberapa maksud:
1. Untuk hukum haram Umpamanya Firman Allah dalam Surat
Al-Isra’ ayat 33.
wur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$#
“Jangan;lah kamu membunuh jiwa yang di haramkan
Allah(membununya)”(Qs. Al-Israa’)
c. Hakikat Nahi
Memang dalam al-Qur’an terdapat
beberapa kemungkinan maksud dari larangan. Untuk apa sebenarnya (hakikat) nahi
itu dalam pengertian lughawi? Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama,
yaitu:
- Jumhur ulama yang berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah untuk haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkannya. Dalam hal ini Jumhur ulama mengemukakan sebuah kaidah yang populer:
“Asal dari larangan adalah untuk
hukum haram”
- Ulama Mu’tazilah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb (sunnat), dan berpendapat bahwa nahi itu menimbulkan hukum karahah (makruh). Berlakunya untuk haram tidak diambil dari larangan itu sendiri tetapi karena ada dalil lain yang memberi petunjuk
3. Hubungan Timbal Balik Antara Amar
dan Nahi
Amar tentang
sesuatu berarti tuntutan mengerjakan sesuatu itu. Sedangkan nahi atas
sesuatu berarti tuntutan menjauhi sesuatu itu. Apabila suatu perbuatan disuruh
untuk dikerjakan apakah berarti sama dengan kebalikannya berupa larangan untuk
meninggalkan perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain, apakah amar
tentang sesuatu sama dengan nahi terhadap lawan sesuatu itu.
Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai
bentuk lawan dari suatu kata. Bentuk pertama adalah lafadz yang hanya mempunyai
satu lawan kata. Bentuk yang seperti ini disebut (alternatif). Umpamanya lawan
kata bergerak adalah diam. Bentuk kedua adalah lafadz yang lawan katanya lebih
dari satu, disebut (kontradiktif). Umpamanya, lawan kata berdiri adalah duduk,
berbaring, jongkok dan sebagainya.
1.
Segolongan ulama, diantaranya ulama Hambali, berpendapat bahwa bila datang
larangan mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan satu
kata, berarti disuruh melakukan lawan kata dari segi artinya. Misalnya,
dilarang bergerak berarti disuruh untuk diam. Bila lawan kata dari yang
dilarang itu banyak berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan katanya.
Mereka mengemukakan alasan bahwa bila dilarang melakukan sesuatu perbuatan
berarti wajib meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan
cara melakukan salah satu diantara lawan-lawan kata tersebut.
2. Banyak
ulama, diantaranya Imam Haramain, al-Ghazali, al-Nawawi, al-Jufani dan lainnya
berpendapat bahwa amar nafsi (tentang sesuatu yang tertentu), baik
hukumnya wajib atau nadb bukanlah berarti larangan mengerjakan lawan sesuatu
itu dan juga tidak merupakan kebiasaan bagi lawannya baik larangan itu
menghasilkan hukum haram/karahah, baik lawan kata itu satu
atau lebih dari satu.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu. 2001 Cet.3.
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
Gema Insani Risalah Press. 1997. Cet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar